(geografis indonesia)
Indonesia sebagai negara kepulauan secara geografis
terletak di khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta
di antara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan
tiga lempeng tektonik utama dunia, mengakibatkan Indonesia
sebagai wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana
alam. Letak negara di khatulistiwa juga menyebabkan wilayah
Indonesia memiliki kondisi iklim yang khas dengan musim hujan
dan kemarau yang sama panjang. Pada saat kondisi iklim global
berpengaruh terhadap iklim di Indonesia, maka perubahan
musim dapat menjadi pemicu terjadinya bencana banjir,
kekeringan dan kebakaran hutan. Lempeng Eurasia yang
bertumbukan langsung dengan Lempeng Indo Australia
membentuk tunjaman lempeng tektonik yang melintas dari barat
Sumatera melalui selatan Jawa hingga Nusa Tenggara. Bagian
timur Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng yaitu
lempeng Philipina, Pasifik dan Australia. Kondisi pertemuan
lempeng tersebut menyebabkan Indonesia berpotensi terhadap
gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor dan tsunami.
Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah
penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata,
pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan
pemanfaatan kekayaan alam, keanekaragaman suku, golongan,
agama, adat dan budaya yang masih mengakar hingga saat ini
dan pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang
sangat kompleks, mengakibatkan wilayah Indonesia berpotensi
rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana yang
disebabkan ulah manusia. Secara umum terdapat beberapa
peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun; bahkan
saat ini peristiwa bencana lebih sering terjadi.
Tidak berbeda dengan negara lain, Indonesia juga rawanterletak di khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta
di antara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan
tiga lempeng tektonik utama dunia, mengakibatkan Indonesia
sebagai wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana
alam. Letak negara di khatulistiwa juga menyebabkan wilayah
Indonesia memiliki kondisi iklim yang khas dengan musim hujan
dan kemarau yang sama panjang. Pada saat kondisi iklim global
berpengaruh terhadap iklim di Indonesia, maka perubahan
musim dapat menjadi pemicu terjadinya bencana banjir,
kekeringan dan kebakaran hutan. Lempeng Eurasia yang
bertumbukan langsung dengan Lempeng Indo Australia
membentuk tunjaman lempeng tektonik yang melintas dari barat
Sumatera melalui selatan Jawa hingga Nusa Tenggara. Bagian
timur Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng yaitu
lempeng Philipina, Pasifik dan Australia. Kondisi pertemuan
lempeng tersebut menyebabkan Indonesia berpotensi terhadap
gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor dan tsunami.
Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah
penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata,
pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan
pemanfaatan kekayaan alam, keanekaragaman suku, golongan,
agama, adat dan budaya yang masih mengakar hingga saat ini
dan pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang
sangat kompleks, mengakibatkan wilayah Indonesia berpotensi
rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana yang
disebabkan ulah manusia. Secara umum terdapat beberapa
peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun; bahkan
saat ini peristiwa bencana lebih sering terjadi.
terhadap berbagai bahaya yang ditimbulkan oleh teknologi,
transportasi, gangguan ekologis, biologis serta kesehatan.
Serangan teroris juga merupakan ancaman yang sudah terbukti
menimbulkan bencana nasional.
Sejarah kebencanaan di Indonesia telah memberikan
dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Terjadinya bencana alam tsunami Flores, Aceh-Nias
dan Pangandaran; gempa Nabire dan Yogyakarta; erupsi gunung
berapi Soputan, Merapi, Semeru; banjir Jakarta, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain di luar Jawa;
tanah longsor Trenggalek, Banjarnegara, Bandung, Padang;
kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan;
kekeringan di wilayah Indonesia timur; wabah flu burung dan
HIV/AIDS; konflik etnis Sambas, Ambon dan Poso yang terjadi di
beberapa tahun lalu merupakan potret kebencanaan di Indonesia
yang memberikan dampak negatif terhadap hasil pembangunan.
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di tengah
Pulau Jawa. Karakteristik fisik Provinsi Jawa Tengah mempunyai
bentuk bervariasi yang tidak lepas dari proses pembentukannya.
Sebagaimana layaknya kepulauan yang terjadi karena tumbukan
lempeng, di Provinsi Jawa Tengah terdapat busur gunung berapi
yang tumbuh pada zona lemah sehingga terdapat beberapa
gunung berapi di atasnya. Dampak dari tumbukan lempeng
tektonik adalah terjadinya pengangkatan dan pelipatan lapisan
geologi pembentuk pulau sehingga membentuk geomorfologi
yang bervariasi seperti dataran landai, perbukitan dan dataran
tinggi. Kondisi geologi yang demikian menjadikan Provinsi Jawa
Tengah mempunyai potensi ancaman bencana alam. Gempa
bumi di Klaten, tsunami di pantai selatan Jawa, erupsi gunung
berapi Merapi dan tanah longsor di Banjarnegara merupakan
sebagian bukti kebencanaan yang pernah terjadi di Provinsi Jawa
Tengah.Kondisi iklim tropis Provinsi Jawa Tengah yang terletak
antara 5o40'-8o30' LS dan antara 108o30'-111o30' BT menjadikan
potensi dan ancaman bencana. Dampak dari bahaya iklim
tersebut adalah banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan badai
angin. Kejadian bencana alam karena iklim dalam sepuluh tahun
terakhir diantaranya adalah banjir di Demak, Semarang, Brebes,
Cilacap, Kebumen dan Purworejo; kekeringan di Demak,
Grobogan dan Wonogiri; kebakaran lahan di lereng Lawu,
Merbabu, Merapi, Sumbing dan Slamet; terjadi pula badai angin
terjadi di Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Klaten dan bagian
selatan Provinsi Jawa Tengah.
Kesenjangan antar wilayah, antar kelompok masyarakat
dan perbedaan sosial ekonomi di beberapa daerah di Jawa
Tengah dapat menimbulkan konflik sosial. Kesenjangan ekonomi
dan beragamnya golongan menjadikan potensi kerusuhan sosial
semakin nyata. Beberapa daerah yang dilaporkan pernah terjadi
konflik sosial di antaranya Jepara, Brebes, Tegal dan Wonosobo
disamping ancaman nyata di eks Karesidenan Surakarta.
Sebagai daerah terbuka, daerah penghubung utama antar
provinsi di Sumatera–Jawa dan Bali sampai Nusa Tenggara,
maka Provinsi Jawa Tengah sangat potensi terjadi berbagai
Kejadian Luar Biasa (KLB), wabah dan epidemi penyakit menular
baik pada hewan dan atau manusia yang mengakibatkan
kerugian dan atau permasalahan sosial lainnya. Hampir semua
Kabupaten/Kota dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir pernah
mengalami kasus–kasus KLB, wabah dan atau epidemi penyakit;
seperti diare, campak, malaria, HIV/AIDS termasuk KLB Avian
Influenza atau Flu Burung.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti
pencemaran air, tanah, udara dan terjadinya abrasi-sedimentasi
merupakan indikasi penurunan kualitas lingkungan di beberapa
Kabupaten/Kota seperti Karanganyar, Surakarta, Tegal,
Pemalang, Pekalongan, Rembang dan Cilacap. Sebagai jalur
penghubung utama transportasi, maka kegagalan teknologi dan ulah beberapa anggota masyarakat yang tidak bertanggungjawab
dapat mengakibatkan kecelakaan lalulintas dan kecelakaan kerja.
Hal ini merupakan salah satu potensi ancaman bahaya yang
harus diperhitungkan pada masa yang akan datang.
Berbagai kejadian bencana di Provinsi Jawa Tengah
menunjukkan bahwa daerah ini merupakan wilayah yang
mempunyai potensi ancaman bencana. Pada hakekatnya semua
jenis bencana, baik yang disebabkan oleh alam, non alam dan
bencana sosial selalu berpotensi mengancam kehidupan seperti
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis bagi masyarakat. Mengingat
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Provinsi
Jawa Tengah, maka diperlukan suatu upaya yang menyeluruh
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik ketika
bencana itu sedang terjadi, sudah terjadi maupun bencana yang
berpotensi terjadi dimasa yang akan datang. Hal tersebut
merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam
melindungi segenap warga dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk
perlindungan atas korban bencana, kesemuanya itu dilakukan
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penanganan bencana pada saat ini cenderung kurang
efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
paradigma penanganan bencana yang bersifat parsial, sektoral
dan kurang terpadu, disamping itu masih memusatkan tanggapan
pada upaya pemerintah, sebatas pemberian bantuan fisik dan
dilakukan hanya pada fase kedaruratan. Pada bagian lain,
perubahan pada sistem pemerintahan serta semakin terlibatnya
organisasi non pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan
memerlukan perubahan mendasar pada sistem penanganan
bencana.
sumber :http://bencana.net/files/RAD-PRB-Prov-Jateng07_Bab-I.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar